Idul Adha 2018

Tinggal di negeri orang selama waktu yang ngga singkat bukan perkara mudah. Saya rasa hal ini udah pernah kalian dengar sebelumnya, kalau “apa yang tampak di medsos ngga sepenuhnya menggambarkan apa yang terjadi di kehidupan nyata”. Tentunya ada banyak banget alasan untuk membenarkan statement tersebut. Banyak tantangan dan ujian yang setiap diaspora hadapi di negeri orang, termasuklah di hari-hari penting dan istimewa seperti perayaan lebaran satu pekan yang lalu.

Di negara rantauan, penting banget untuk making friends dengan orang-orang berkebangsaan sama supaya kerinduan dengan keluarga tanah air bisa somehow terobati. Alhamdulillah, di Istanbul, hal ini bukan masalah sama sekali.

Meskipun bukan ibukota, Istanbul adalah kota terbesar dan terpenting di Turki dengan penduduk yang melebihi 15 juta orang, tiga kali lipat dari penduduk ibukota Ankara yang cuma sekitar 5 juta orang aja. Hampir 20 persen dari 80 juta penduduk Turki ada di Istanbul (Yeni Safak, Februari 2018).

Dari 15 juta penduduk tersebut, sekitar 500-nya (mungkin lebih) adalah penduduk Indonesia, termasuk mahasiswa, pegawai, dan yang kami sebut disini sebagai ‘gelin’ yaitu perempuan Indonesia yang menikah dengan orang setempat. Karena jumlah masyarakat Indonesia yang lumayan banyak ini, sejak 2013 (kalau saya ngga salah ingat), Kemenlu membuka Konsulat Jenderal Republik Indnesia (KJRI) di Istanbul yang wilayah kerjanya juga mencakup beberapa kota lain di sekitar Istanbul.

Konsulat ini versi lebih kecilnya kedutaan besar di Ankara dengan tugas yang hampir sama. Salah satu yang menjadi nikmat terbesar kami mahasiswa disini adalah program-program dan acara yang sering diadakan KJRI macam perayaan 17 Agustus, open house ketika lebaran, acara kebudayaan, bahkan diskusi. Kenapa jadi nikmat terbesar? You guessed it, karena dimana acara KJRI, disitu ada makanan Indonesia. (Tapi kami datang ke acara bukan cuma demi makanan aja, kok. Lol)

Selain itu, ngga sedikit ibu-ibu yang jualan makanan Indonesia atau bahkan yang suka ngundang main kerumahnya buat sekadar makan-makan. Jadi lah soal kangen sama masakan Indonesia bukan masalah besar buat mahasiswa disini.

Selain KJRI, ada juga satu organisasi yang menyatukan semua masyarakat Indonesia di Istanbul, namanya sangat self-explanatory sebenarnya; Masyarakat Indonesia Istanbul. Kalau PPI Istanbul adalah organisasi yang cuma menghimpun mahasiswa di Istanbul, MII menghimpun semuanya termasuk mahasiswa, pegawai, ibu-ibu yang ikut suami, ibu-ibu yang menikah dengan orang Turki, semuanya tanpa terkecuali. Hari Sabtu kemarin, seperti tahun-tahun sebelumnya, MII mengadakan acara piknik bersama dalam rangka merayakan Idul Adha. Another blessings for hungry broke students.


Sejak pulang dari Trabzon dua hari sebelumnya, saya masih menginap di rumah Bu Sofi karena memang Ibu lagi sendirian dan butuh bantuan untuk masak-masak. Sejak hari Jum’at, Ibu sudah sibuk menyiapkan bahan-bahan. Rencananya Ibu mau bawa lontong sayur, kolak, nasi kuning, dan kerupuk ke piknik.

Sekitar pukul 9.30 pagi, kami tiba di lokasi piknik di Taman Haliç yang letaknya di pinggir Teluk Golden Horn. Kami datang awal karena Ibu bawa sebagian makanan untuk sarapan dan saya juga diajak jadi panitia dokumentasi hari itu.

Sebelum kami, sudah ada beberapa panitia yang sudah standby. Ada yang menyiapkan tungku batu, merapikan hadiah, dan meniup balon. Setiba disana, karena bawaan yang banyak, Ibu Sofi diarahkan ke tikar kosong dan shortly after, wadah lontong sayurnya dibuka dan kita semua mulai makan. Emang deh kalau ngumpul sama ibu-ibu mah.

Sambil menunggu yang lain datang, masakan daging-dagingan mulai dipanasin (ngga dimasak disana biar ngga makan waktu).

125200Saya ngga tahu nama makanannya tapi pokoknya itu daging sapi dan kambing dimasak supaya pas dengan lidah Indonesia dan Turki karena banyak suami dan anak ibu-ibu gelin yang bakalan datang.

175
Dooprize dan bingkisan snack untuk anak-anak juga sudah siap. Semuanya adalah sumbangan dari para ibu-ibu. Di acara beginian, mahasiswa memang cuma bisa nawarin tenaga sama kehadiran :’)

Sekitar pukul 11.30 banyak yang mulai berdatangan.

157
Beberapa ibu-ibu ada yang bawa dagangan macam tempe, gorengan, dan lain-lain. 434

Ngga lama kemudian, acara pun dimulai, diawali dengan lomba makan kerupuk untuk bocah-bocah blasteran Turki-Indo segala usia.

441Emak-emaknya siaga di belakang dan di depan anak-anaknya. Selain untuk ngejelasin cara lomba juga untuk kasih dukungan dalam bentuk apapun; ada yang sorak-sorak, atau langsung turun tangan seperti ini…

463
…atau ini…
510Meskipun ada yang selesai duluan, pada akhirnya semua anak kebagian bingkisan. Tujuannya memang supaya anak-anak pada happy dan ngga bosan.

Setelah itu, acara betul-betul dibuka dengan pembukaan dan sambutan-sambutan. Yang hadir juga sedikit demi sedikit bertambah.

544
Dua orang yang berdiri pegang microphone itu adalah MC acara kemarin. Yang satu namanya Tante Eka, sudah biasa ngemsi acara-acara disini. Biasanya ditemani sama mahasiswa namanya Natul, tapi hari itu diganti Kak Aldy karena Natul masih liburan. Btw, you can see betapa banyak bocah-bocah blasteran disini. Dan ini belum semuanya.

570Sambutan dari Ketua MII 2016-2018, Tante Fardal Dale Yılmaz.
599
Dan Pak Iwan selaku perwakilan dari KJRI karena Pak Konjen lagi ngga berkesempatan hadir.

Agenda-agenda setelah itu betul-betul bebas. Ibu-ibu dan para suami ikutan games sambil mengawasi anak-anak yang lari sana-sini. Oh, ya, mungkin kalian sudah notice duluan, hari itu kita semua pakai pakaian bernuansa putih. Kalau kata Tante Fardal bilang, “kita mau memutihkan Taman Haliç.” Ngga ada tuntutan sebetulnya, tapi hampir semuanya datang dengan baju putih. Termasuk bocah-bocahnya.

670Level lomba makan kerupuk buat ibu-ibu dan bapak-bapak slightly lebih susah karena harus sambil bunyiin kecrek. Alhamdulillah para ibu dan mbak-mbak berhasil gigit kerupuknya tanpa bantuan tangan dari siapapun.

678
683Ehem, kan bantuan kecrek, bukan tangan.

Selain itu juga ada lomba makan kuaci.

871
Para bapak-bapak juga ngga mau ketinggalan. Lomba kerupuk apalagi kuaci diikutin. Walaupun sebagian harus dibujuk dulu sama istrinya.
627

755
1001

Terlepas dari keseruan dan makanan enak yang ada, piknik bersama ini adalah momen kumpul untuk semuanya. Walaupun jumlah kami banyak, cuma acara macam ini lah yang bisa mengumpulkan semua orang.

Di acara seperti inilah rencana ketemu yang sejak lama cuma sekadar rencana akhirnya kejadian, yang sudah lama ngga ngobrol atau saling kontak pun jadi ketemu dan bertukar cerita disini.

Di acara seperti ini juga ada banyak kejutannya. Yang sebelumnya masih berperut buncit ternyata sekarang sudah gendong bayi, dan bocah yang sebelumnya masih bayi, tahu-tahu pas ketemu lagi sudah bisa duduk atau bahkan jalan. Suasana bersilaturrahim siang itu mendamaikan sekali, senang melihat semuanya saling membahagiakan dalam perayaan yang diadakan jauh dari tanah air. Sore itu, ada Indonesia kecil di Taman Haliç.

752
728
690
290Bulan depan, saya akan memulai semester tujuh kuliah saya. Satu tahun tersisa dari perjalanan hidup tahap ini (insyaAllah). Ada banyak sekali hal yang pastinya akan saya rindukan dari Istanbul. Salah satunya adalah momen seperti ini. Momen kumpul-kumpul ketika senyuman dan tawa tampak di setiap wajah. Senyuman kebahagiaan karena telah menemukan rumah baru ketika rumah yang sesungguhnya berada ribuan kilometer jauhnya di belahan bumi yang lain.

Benar banget yang orang bilang, “ketika kamu kehilangan, kamu pun akan menemukan.”

Beginilah lebaran kami.
Selamat lebaran dari Istanbul!

702.jpg

Trapezus(!)

Postingan ini didedikasikan buat Bu Sofi dan teman-teman dari PPI Trabzon yang kemarin bersedia kita repot-repotin.

I got used to celebrate eids without ma famille. It’s really not a big deal to celebrate these special days without going to the nearby mosque to pray together with mom, dad, and grandma then kissing the back of their hands saying “mohon maaf lahir batin mi, bi, THR?” jokingly, hearing loud noises of my cousins and little sister running around the house, helping mom preparing the meals and filling my stomach with it all day. Udah biasa sama suasana lebaran disini yang biasa aja tanpa ramenya takbiran keliling rame-rame.

Tapi alhamdulillah, lebaran Idul Adha kemarin kedapetan rejeki nemenin Bu Sofi, salah satu ibu-ibu Indonesia disini, yang pengen main ke salah satu kota di timur laut Turki, Trapezus or as known today as Trabzon, sekitar seribu kilometer dari Istanbul.

Awalnya saya kira cuma mau jalan-jalan aja berdua, tapi trus Ibu nanyain soal anak-anak mahasiswa yang akan lebaran disana, pengen masakin ketupat katanya. Setelah menghubungi salah satu kakak senior yang kemarin udah selesai kuliah di salah satu kampus di Trabzon, dikenalinlah sama salah satu mahasiswa yang masih disana.

Singkatnya, setelah book tiket pesawat dan hotel, tanggal 21 Agustus jam 12 siang, kami terbang dari Istanbul dengan bawa hampir dua koper isi makanan termasuk ketupat sayur, rendang, dan kaleng Khong Gu*n.

Sekitar jam 2 siang, pesawat kami tiba di bandara Trabzon.


Day 1

Di bandara sudah ada tiga mahasiswa Indonesia yang siap jemput saya dan Ibu. Ngga butuh waktu lama sampai kami ketemu mereka dan Ibu pun langsung bilang mau ketemu anak-anak, mau langsung piknik biar semuanya segera makan lontong sayur siang itu juga. Ibu memang dari malam sebelumnya kelihatan excited banget ketika masak makanannya, bilang ga sabar mau lebaran bareng anak-anak yang Ibu sendiri sebelumnya belum pernah ketemu dan kenal. MashaAllah :’).

Sekitar 30 menit setelah touchdown dan ketemu teman-teman, kita langsung diantar ke taman dekat sebuah mall. Ngga lama setelah itu, satu persatu mulai berdatangan. Saya dan Ibu lumayan kaget ketika tahu ternyata yang datang hampir dua kali lipat dari yang kita perkirakan sebelumnya. Which is a very good thing.

Here’s some of the happy faces that afternoon.

DSC05135
Please pardon our messy table :’)

DSC05128
DSC05142
DSC05152
IMG-20180821-WA0082

Sorry for that 
kresek and kaleng Khong Gu*n but it was undoubtedly a nice day with happy tummies. Kita duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol disitu sampai sore. Piknik diakhiri dengan wejangan dari Ibu soal menjadi generasi terbaik bangsa yang didengarkan dengan serius oleh semuanya.

DSC05166


Day 2

Melihat banyak yang datang di hari pertama, Ibu akhirnya kepikiran buat ajakin semuanya jalan-jalan bareng, dibanding cuma kami berdua aja. Jadi setelah piknik, kami minta tolong teman-teman Trabzon buat sewa mobil plus sopir yang bisa bawa keliling di hari berikutnya.

Hari ini, 22 Agustus. Alhamdulillah, teman-teman berhasil ketemu satu minibus yang kita sewa khusus untuk bawa anak-anak Indonesia keliling ke beberapa spot menarik yang harus dikunjungi ketika lagi main ke Trabzon.

Kemarinnya, saya pribadi merasa senang dan bahagia ketemu dan berkenalan dengan teman-teman baru dari Trabzon yang suuuper nice dan juga melihat Ibu dengan cepatnya bonding dengan mereka. Di hari berikutnya, hari kedua ini, saya bahagia karena melihat bukit dan gunung batu dengan rumah-rumah di atasnya. And since I’m not very good in describing things with words, let me just show you some decent pics I took from our trip that day.

DSC05296
Kami berangkat dari penginapan pada sekitar pukul 10 pagi. Yang ikut trip hari itu cuma 10 orang termasuk saya dan Ibu karena sebagian teman-teman harus masuk kerja. Alhamdulillah , hari itu kita dapat rejeki sopir yang baik dan nyantai banget, yang ngga nolak ketika kita request untuk berhenti di suatu tempat.

Cuaca pagi itu agak gerimis dan dingin. Saya baru tahu kalau cuaca di Trabzon mirip dengan cuaca di Istanbul yang ngga bisa diprediksi, labil kaya cewe (LOL). 

DSC05352Tapi setelah meninggalkan daerah permukiman, saya yang dari awal mengutuk mendung, hujan, dan kebodohan saya sendiri yang ngga jadi bawa jaket denim langsung bersyukur dan menarik semua pikiran itu. Hujan justru membuat pepohonan dan pegunungan hijau jadi lebih indah dengan sentuhan embun di atasnya.

DSC05379
Selama 2-3 jam, kami disuguhkan dengan pemandangan hijau seperti ini.

DSC05408
The small white thing is a mosque surrounded by small houses (which would be bigger once we get closer). I wonder how it feels like to live in those houses where you see such breathtaking view soon after you open your window. MashaAllah.

DSC05419

DSC05395

After approximately 90 kilometers journey from the city center, at 1 pm, we arrived at the location which is called Uzungöl atau “danau panjang” dalam terjemahan langsung Bahasa Indonesia. But, I myself call it “PARADISE”.

DSC05815
DSC05527
Setibanya disana, kami ngga bisa langsung keliling karena gerimis turun lagi. Jadi sambil menunggu, kami pun berteduh dan makan siang di salah satu restoran di sekitar danau.

Selain restoran, Uzungöl dikelilingi toko oleh-oleh, penginapan, dan arena bermain (?), I honestly don’t know the right word for it. Hari itu lumayan ramai karena memang masih dalam suasana lebaran. Dan seperti yang salah satu teman bilang, disana ada banyak banget turis Arab. Sebenarnya ngga heran, sih, kalau tinggal di daerah panas dan dikelilingi padang pasir, saya juga akan nyari destinasi liburan yang hijau seperti ini.

***

Shortly, setelah kenyang dan melihat hujan sudah mulai berhenti, kami mulai berkeliling. Udaranya ngga betul-betul dingin sebenarnya, tapi lama-lama bisa bikin masuk angin juga. Dan alhamdulillah lagi, salah satu teman yang hadir hari itu kepikiran buat bawain saya dan Ibu jaket.

Seperti yang saya bilang, embun membuat kesan menentramkan pada pegunungan yang mengelilingi danau. Lagi, izinkan saya yang jago berkata-kata ini langsung menunjukkan dengan beberapa foto yang saya ambil hari itu.

DSC05436
DSC05715
(Beberapa lama setelah hujan berhenti)
DSC05713
DSC05705

Ketika lagi keliling, Ibu mellihat banyak perempuan yang pakai hiasan kepala khas. Jadi ketika mampir ke salah satu toko, Ibu belikan satu-satu untuk kami berempat.

DSC05544
Saya sendiri awalnya menolak karena saya pikir akan kelihatan ngga bagus kalau dipakai di atas kepala. Tapi karena Ibu bersikeras, akhirnya saya pakai juga. Dan, eh, bagus juga ternyata XP.

DSC05557
(Karadeniz kızları :P)
DSC05698
DSC05806
DSC05659
(Ketika izin foto berlagak macam turis, bilang “may I take your picture?“. Lul)

Ada banyak lagi foto-foto lain sebenarnya. Ada sampai 500 lebih foto dari sepanjang hari itu aja karena setiap sudutnya memang cantik dan upload-able :P.

Setelah berkeliling sejak jam 2 siang, jam 4 sore kami dijemput lagi oleh pak supir dan dibawa ke spot lain di dekat situ. Sebenarnya bisa dijangkau dengan jalan kaki, tapi kasihan Bu Sofi kalau harus jalan kaki menanjak ke atas.

DSC05818
Nama tempatnya adalah Şelale atau “air terjun”. Tapi, yang disebut “air terjun” sebenarnya adalah semacam bendungan. Tapi view-nya tetap bagus dari sana.

DSC05820
Dan setelahnya, trip diakhiri dengan mampir sebentar ke spot foto-foto yang letaknya di dataran lebih tinggi.

DSC06110
DSC06004
Spot ini perfect banget untuk ambil foto suasana Uzungöl dari atas. I bet winter snow would turn this place to Narnia.
DSC05994
Semuanya saya foto sendiri, jadi harap maklum kalau kualitas fotonya ala kadar. Kalian bisa browse sendiri foto-foto Uzungol ini di internet atau dengan hashtag di Instagram. Memang betul-betul a go-to place yang dituju oleh turis lokal dan mancanegara. Pada musim dingin, setiap sudut akan ditutupi putih salju yang bikin tempat ini terlihat kaya somewhere di Swiss. Teman dekat saya bilang tempat ini mirip banget sama Desa Hallstatt di Austria.

Hari kedua ini adalah hari yang berkesan banget untuk saya dan Ibu. Sepulang dari trip, Ibu terus mengulang kalau ngga salah pilih banget jalan-jalan ke Trabzon. Besides ketemu dengan teman-teman mahasiswa yang humble, ramah, dan thoughtful, tempat-tempatnya betul-betul indah memanjakan mata, terutama saya yang tinggal di dorm di tengah kota. Alhamdulillah.

Sayangnya, ‘liburan’ kami disini ngga lama. Besok sorenya, kami sudah harus kembali ke hiruk pikuk Istanbul.


Day 3 – End

Flight kami terjadwal sore hari pukul 4 sore. Jadi masih ada waktu beberapa jam untuk keliling sebentar. Alhamdulillah, kami sempat diajak ke Hagia Sophia Museum yang mirip-mirip dengan Hagia Sophia di Istanbul, cuma dengan ukuran yang jauh lebih kecil. Jadi ternyata, ada empat Hagia Sophia di seluruh Turki, dua di Istanbul, satu di Iznik dan satu lagi di Trabzon.

DSC06180DSC06182Sejarah museum ini pun sama dengan grand sister-nya di Istanbul. Merupakan peninggalan Byzantium yang dibangun pada abad ke-13, Hagia Sophia ini kemudian diubah menjadi masjid setelah penaklukkan Konstantinopel oleh Al Fatih pada tahun 1461 dengan lukisan-lukisan di dinding dan langit-langitnya ditutupi cat. Antara tahun 1950-60an, digunakan sebagai rumah sakit dan gudang penyimpanan ketika Rusia menguasai wilayah ini dan sejak 2013, museum ini dibuka kembali sebagai masjid dan sampai sekarang boleh dikunjungi gratis tanpa biaya apapun.

Dari halaman Hagia Sophia, kita bisa melihat hamparan Laut Hitam.
DSC06203

And that was how our trip ended. Karena waktu yang terbatas, kami ngga sempat berkunjung ke tempat lain lagi.

But before I end this post, let me give credits to those who played a huge role on making this short trip memorable.

Kak Fauzan  dan Fauzi yang sudah bantu saya dan Bu Sofi bahkan dari sebelum kita tiba disana. Yang jemput ketika kita sampai, cek hotel, cari kendaraan, meramaikan kumpul-kumpul kita dengan mengundang teman-teman lain, dan foto-fotoin. Dua orang yang Ibu pasti bahas setiap pulang dari jalan-jalan selama kami masih disana dan yang nemenin kami selama tiga hari full sampai nganter ke bandara di hari terakhir.

DSC05628

Kak Tiwi dan Kak Fitri. Baru banget ketemu dan tahu satu sama lain tapi seolah udah sejak lama. Yang masakin Ibu nasi goreng ketika Ibu lagi pengen-pengennya makan itu, yang nemenin saya di perjalanan yang kebanyakan anak cowok, yang nemenin saya dan Ibu nge-mall padahal malamnya harus menempuh perjalanan jauh ke kota lain.

Dan tentu aja…DSC05163
..semuanya…

IMG-20180822-WA0190
IMG-20180823-WA0056
IMG-20180823-WA0059
DSC06277…yang datang meramaikan piknik di hari lebaran kemarin dan jalan-jalan kita selama disana, serta jagain Ibu dengan pengamanan tingkat tinggi (LOL); Anas, Ambar, Agus, Lutfi, Sulaiman dan lain-lain yang mohon maaf banget saya lupa namanya :(. Thank you for being so nice and welcoming us with such warm heart-felt welcome, and for making this short escape unforgettable.

And of course, DSC05564
Terima kasih banyak untuk Ibu “Mami” Sofi yang sudah ngajakin Asma’ ke perjalanan yang menyenangkan ini. Terima kasih udah jadi orang tua kita semua disini, yang mengajarkan kita soal berbagi dan berusaha untuk menjadi generasi Indonesia yang lebih baik. Mohon doa teman-teman sekalian untuk kesehatan, panjang umur, dan kelancaran rezeki yang berkah untuk keluarga Ibu, ya. (Percaya atau ngga, usia Bu Sofi udah 60 tahun. Ngga kelihatan banget ya?)

Ada banyak banget yang saya mau sampaikan sebenarnya. Sayang, saya belum jago nulis. Doa saya untuk Ibu dan teman-teman yang jadi perantara nikmah kebahagiaan Allah buat saya beberapa hari kemarin. Semoga kita dipertemukan lagi lain waktu.

Dan Trabzon.. semoga Allah kasih saya kesempatan buat berkunjung ketika kamu lagi berubah jadi Narnia!

DSC05536


23 Agustus 2018
Trabzon: checked!

 

 

 

 

#RandomThought : Sendiri.

Kenapa banyak yang bilang kemana-mana sendirian itu menyedihkan? Padahal in some points, bukannya kesendirian itu dibutuhkan?

Belakangan banyak yang bilang ke saya kalau saya selalu kelihatan sendiri. Makan sendiri, pulang-pergi kampus sendiri, ke bioskop sendiri.. katanya “kok sedih sih sendirian mulu?,” yang ujung-ujungnya pasti ke “jomblo sih.” *facepalm*

Well–if you somehow don’t know about this yet–basically, some people just like being alone. Doesn’t mean that they hate hanging out with some friends or going anywhere in packs. They just love being left alone with only their thoughts. Selama sendiriannya ngga SELALU dan setiap saat, you don’t have anything to worry about us; introverts/ambiverts.

***

Sendirian mengizinkan kamu menghabiskan waktu dengan isi kepalamu sendiri. Kamu akan banyak menghabiskan waktu dengan dirimu sendiri dan berpikir tentang hal-hal yang mungkin terlewat ketika kamu sedang ngumpul bareng teman.

Hal itu bisa tentang banyak sekali hal, mulai dari topik percakapan ‘berbobot’ yang terjadi beberapa waktu lalu, sikap-sikapmu terhadap orang lain, perkataan yang kamu sampaikan di depan umum bbrp hari lalu, hal konyol yang ngga sadar kamu lakukan, rencana-rencana kamu, bahkan tentang goal kamu sebagai orang tua suatu hari nanti.

Di Indonesia mungkin jalan kaki dari satu tempat ke tempat lain yang jaraknya lebih dari 1 km terasa menyiksa. Tp kalau keadaan atau lokasi sedang mendukung, dicoba aja jalan-jalan dari satu titik ke titik lain. Hindari handphone, atau bahkan ngga usah sambil dengerin lagu/musik apapun. Just try to listen and connect with the world around us.

Di tengah kota pun kegiatan ‘mendengarkan’ ini tetap mengesankan. Meskipun yang terdengar bukan suara alam, binatang hutan atau pepohonan yang menenangkan, suara-suara tersebut tetap mampu membuat kita berpikir tentang hakikat keberadaan kita (berat tjuy).

Belakangan saya coba berangkat ngampus jalan kaki. Jaraknya sekitar 4-4,5 km dan sepanjang jalan itu adalah pertokoan, karena memang jalurnya di salah satu distrik paling ramai di Istanbul. Tapi saya sendiri tetap suka aja lepas headset/headphone dan betul-betul memaksimalkan semua indera ini untuk menikmati suasana yg ada. Hampir sama kaya Indonesia kok. Suara obrolan disana-sini, klankson mobil, teriakan penjual/ada yang berantem, trotoar yg penuh dan seringkali ga beraturan.. you name it.

Pasti banyak yang berpikir juga kalau hal diatas itu membosankan as hell. Well, that’s you and what you think. You don’t have to force yourself to adjust the way we–the introvert and ambivert–think and enjoy something. Bcs what we find calming and interesting might be a ‘torture’ for you. And vice versa, what you find thrilling and fun, might be just a waste of time for us when we have too much of it.

Every single person is different, isn’t it? Everyone is unique with their own way.
If you have a friend who really loves spending his/her time on her own, don’t force them. As long as they still socialize in the weekend and come to your small birthday party or any discussion forum, they’ll be okay.

Just like you ‘charge’ yourself by being social, some of us do it by being alone. Just like some of us need to leave their personal space and socialize, in some points, you also need to leave your social life and gatherings and spend the time to yourself.


(Originally published in my Tumblr; ashanifah.tumblr.com)

Been awhile..

I don’t write as much as I used to when I was younger. People who know me would definitely agree about this.

I used to have this particular book I write everything on and take it everywhere I go. I could fill one empty book in a single month, with all of my silly stories and dreams. Apparently because there wasn’t much to do in boarding school. There was no distraction like phones, internet, or good film/book recommendations (my biggest weakness). But apart from all this, writing created some kind of this energy that makes me happy. Felt like I was born with it. Although I never find Dad or Mom spend most of their time on books–which basically means I might not inherited it from them–it’s just here in me.

Or should I say… was (?).

Or is it still? I don’t even know.

Dad often reminds me that I should continue my writing hobby. He said he likes reading anything I write. “Doesn’t have to be something ‘heavy’ or something. Just a short story about how was your day going will do,” he said.
I feel bad I always take what he said for granted.

But I still have those dreams, you know. That someday, there would be people in subways reading a book with my name written on the cover. Or that my kid would come home from school, open up his/her bag and say, “this kid in my class say your book is amazing, he/she wanted me to have you sign it,” while handing me the half-read book.
Damn, wouldn’t it be awesome?.

Although, of course, I don’t want to wait until I have kids to release a book. If I can, I want it to be tomorrow. Or next month. Or within this year.

But who am I kidding? I still haven’t even start any first page, still clueless about what could I write. Even blaming my boring life ungratefully for this writer’s block, and other people for my writing anxiety.

Sorry, Dad.
Sorry, Asma in the future.
Sorry, world, for keep breathing your air without doing something actually good for you and the human species.

I’m working on it.
I promise.

(This was actually already published in my Tumblr. Don’t judge me.)

#RandomThought : Main Jauh

Beberapa hari yang lalu, satu kota lagi di Turki udah checked dari daftar nama kota-kota yang harus dikunjungin di Turki; Ankara.

Iya, Ankara. Gila, ya. Udah mau 3 tahun di Turki tapi main ke Ankara-nya baru kemarin. Hih. Keasikan di Istanbul kali ya si Asma?

Well, Istanbul tuh memang cantik banget sih. Anak-anak sini punya kata-kata yang bunyinya gini, “anak luar Istanbul pasti main ke Istanbul, tapi anak Istanbul belum tentu main ke kota lain.” Saking karena Istanbul emang udah punya hampir segalanya. (Hampir loh ya, bukan ‘udah’)

Tapi kan sayang, ya. Bertahun-tahun tinggal di luar negeri tapi malah ngga nge-trip kemana-mana. Makanya meskipun di Istanbul udah ada banyak, kemauan main ke kota-kota lain tuh pasti ada. Lagian, kadang suntuk juga sama Istanbul yang ujung keujung isinya manusia (walaupun manusianya pada indah sedap dipandang mata *eh)

Kalau ditanya sampe sekarang Asma di Turki udah kemana aja?, baru bisa sebut beberapa kota doang; Kocaeli (sebelah Istanbul), Sakarya (sebelahnya Kocaeli, Bursa (agak jauh sedikit), sama Ankara. Itupun kesana bukan buat main, tapi urusan PPI. (

Kok baru segitu? Padahal Asma anak lama. Anak-anak baru aja udah pada kemana-mana. 
Ya karena memang kesempatannya belum Allah kasih. Waktu itu ada rencana ke Izmir sama Antalya. Tapi ngga jadi karena apa entah lupa. Trus rencana lagi pengen ke Canakkale. Tapi wes ngga jadi juga. Trus rencana pula ke Trabzon. Lagi-lagi ngga jadi. Ada aja kejadian atau keperluan lain yang bikin trip-nya harus dibatalin. Makanya kadang mikir kayanya ga usah pernah bikin rencana aja. Iseng-iseng aja ngecek website tempat jual tiket, kalau ada yang murah langsung sikat tanpa aba-aba. Ya pastinya harus udah dipertimbangin sama isi dompet biar pas kesananya ngga nggembel, bisa pergi doang gabisa pulang :(.

Jujur, hidupku penuh rencana sih. Pas masih di Indo pun pengen main kesitu, kesana. Tapi belum pernah kejadian. Trip sekolah ke Jogja, ke Malang, ke Pare, manalah itu aku pasti ngga pernah ikut. Entah selametannya sunatan adek, kacamata baru ilang trus Ummi marah, atau anggota keluarga sakit. Jejak kakiku di Indonesia baru sejauh Lampung sampe Jakarta-Depok doang. Makanya ketika yang lain dapat berita aku keterima di Turki, mereka pada bilang, “keren ya kamu, belum pernah jalan kemana-mana, tapi sekalinya langsung jauh.” Pujian, sih. Tapi kok aku malah prihatin sama diri sendiri :’

Tapi ngga apa-apa sih. Toh bumi segini gede buat kita itu setiap inch-nya milik Allah. Allah yang kasih izin siapa yang bakal nginjekkin kaki di situ, siapa yang ‘nanti dulu’. Walaupun belum pernah nginjek langsung tempatnya, Allah pertemuin aku dengan orang-orang dari mana-mana, aku kenal tempatnya dari cerita-cerita mereka.

Di tumit kanan-kiriku ada tahi lalat di tempat yang hampir sama. Orang bilang kan kalau punya tahi lalat di kaki atau telapaknya itu bakalan pergi jauh. Mitos sih, kaya kalau yang punya pusaran rambut dua itu berarti nakal, padahal mah dari mana korelasinya pusaran rambut sama kenakalan? :/

Gitu wes pokonya.

Intinya, nggapapa kalau kamu belum pernah main jauh. Nggapapa kalau duniamu masih sekitaran itu aja. Karena nanti, suatu hari, Yang punya tempat yang bakalan nganterin kamu. Dengan usaha, do’a, dan niat yang baik. Dompet lagi kosong pun kalau memang rejekinya pergi jauh ya bakalan pergi juga, bakalan nge-trip juga. Ya toh?. Sebelum kakinya yang melangkah jauh, biarin isi kepala kamu yang terbang tanpa batas.

Dan buat kamu yang udah sering kemana=mana, jangan lupa do’ain temennya biar bisa ikutan kemana-mana juga. Semoga nge-tripnya bisa terus mengantarkan kepada kebermanfaatan. Aaamiin.

23.55
Istanbul

Review (telat) Inferno

Postingan kali ini suppose to be a movie review, sih. Tapi karena belum tahu banyak soal film, kayanya bakalan sesuka hati banget :’D

Well, sesuai sama judulnya, kali ini aku mau bahas perbandingan novel Inferno karya Dan Brown, dan filmnya dengan judul sama yang yang disutradarai oleh Ron Howard dan rilis tahun 2016 lalu.

Filmnya rilis 2016, tapi aku baru bisa nonton sekitar pertengahan bulan Februari lalu, sekitar 30 menit setelah baca tuntas novelnya. Aku baca novel terjemahan bahasa Indonesianya. Tapi karena sudah pernah baca 5 bab awal novel aslinya, aku bisa lihat ada sedikit perbedaan penyampaian cerita di awal. Entah memang salah cetak atau gimana. But that’s not the point, karena alur ceritanya tetap sama.

Aku butuh 3 hari untuk bisa nyelesaiin bukunya yang punya sekitar 114 chapter dan 60o sekian halaman. Ini adalah pengalaman pertamaku baca buku karya Dan Brown. Kalau kalian tahu film yang judulnya The Da Vinci Code yang juga diadaptasi dari novel berjudul sama karya Dan Brown, dengan nonton filmnya aja kita bisa nebak kalau tulisan Dan Brown tu ga sembarangan. Entah berapa banyak sumber yang beliau baca dan selama apa penelitian yang dia lakukan sebelum akhirnya ngerampungin The Da Vinci Code yang kemudian jadi salah satu worldwide best-seller.

Inferno juga ngga jauh beda. Baca novelnya itu kaya baca buku pelajaran. Kita akan dapat banyak informasi baru tentang sesuatu ketika baca novelnya. If you’re not curious enough buat tahu jalan dan akhir ceritanya, baca novel ini bener-bener bikin bosan. Ada banyak informasi yang sebenarnya ngga nyambung sama ceritanya, tapi cukup buat bikin kita ber-oh gitu. Berdasarkan pengalaman pertamaku kemarin, aku akui, aku sering banget buka-tutup Google dan Youtube untuk tahu apa yang Brown lagi omongin atau deskripsiin. See?

Kalau kamu–yang belum pernah nonton atau baca novelnya bertanya-tanya Inferno itu menceritakan tentang apa, well, Inferno itu adalah kisah perjalanan Robert Landon, yang juga adalah tokoh utama di The Da Vinci Code, untuk mencari letak wabah buatan yang diciptain oleh seorang ahli genetik, Bertrand Zobrist, yang terobsesi dengan isu overpopulasi. Zobrist meninggalkan sebuah petunjuk untuk letak wabah itu dengan teka-teki yang berkaitan dengan Dante Alighieri (Eng) dan The Divine Comedy karyanya.

Selain informasi-informasi sejarah dan tokoh-tokoh kaya Dante yang bikin orang awam pusing, alur ceritanya juga lumayan rumit. Jadi memang harus benar-benar fokus biar ngga bingung di bagian selanjutnya. Tapi, Brown memang jago banget bikin pembaca mikir tentang hal-hal yang bukan sebenarnya. Sampai akhirnya di bagian ketika rahasia-rahasia dari beberapa tokoh terungkap dan kita dibikin bolak-balik ke halaman-halaman sebelumnya untuk kemudian benar-benar ngerti dan kaget sendiri.

Setelah sampai di chapter akhir dan selesai baca, kita dibuat tercengang dan langsung mau nonton ceritanya di film. Karena filmnya sudah liris sejak lama, kita bisa langsung nonton online di internet dan lihat jalan ceritanya lewat gambar.

Tapi… sayangnya, aku akui filmnya mengecewakan sih.  Meh banget.

600 sekian halaman di buku Inferno memang menceritakan tentang kejadian yang terjadi selama sekitar sehari 2 malam. Tapi baca di buku, semuanya terasa masuk akal aja. Ketika nonton filmnya, sebagai orang yang sudah tahu jalan ceritanya, aku ngerasa kalau jalan cerita filmnya buru-buru banget. Ditambah lagi ada beberapa bagian yang diubah. Kalau bicara soal ending, ending versi Dan Brown di novel dengan ending versi David Koepp sebagai penulis script jauh beda. Kalau kalian sudah duluan nonton filmnya dan geram sama karakter Sienna Brooks, kalian harus baca bukunya untuk tahu versi asli dari yang Dan Brown tulis.

Over all, walaupun filmnya ngga bener-bener merepresentasikan bukunya, filmnya juga keren, terutama bagi orang-orang yang ngga baca bukunya dulu sebelum nonton. Aku yang langsung nonton The Da Vinci Code tanpa baca bukunya dulu pun menganggap filmnya keren banget, padahal mungkin filmnya juga ‘meh‘ buat mereka yang udah baca.

Buat kalian yang udah nonton Inferno, baca bukunya juga bukan pilihan yang buruk sih. Karena–aku ulangi lagi–jalan cerita yang ada di buku dan filmnya ngga sama. Ada banyak banget bedanya.

Dan buat kalian yang belum nonton, aku saranin buat baca bukunya dulu sih. Kalau kemampuan Bahasa Inggris-nya masih biasa aja, kaya aku, baca versi terjemahannya ngga apa-apa. Tapi kalau bisa baca buku versi aslinya aja, karena rasanya tetap ngga original aja sih karena bukan Dan Brown langsung yang tulis.

Sekian review abal-abal ala kadar sesuka hati ini.
Sampai ketemu di review-review lainnya! 😛

 

 

Ekspektasi – Realita Vol. 1.2

Entah sudah berapa kali aku mengatakan soal Turki yang dulunya sama sekali bukan mimpiku, bukan negara impianku. Bukan nama tempat yang tertulis di dinging kamar atau sisi-sisi buku diary-ku. Not at all, bukan sama sekali. Aku mulai diberitahu soal Turki ketika aku bilang kepada Abi kalau aku tertarik untuk mendaftar beasiswa Turkiye Scholarships.

Abi bercerita banyak, tapi aku tidak ingat semuanya. Yang aku ingat adalah Abi menyebut soal Turki yang terletak di dua benua; Asia dan Eropa, ada selat bernama Bosphorus  yang memisahkan kedua benua tersebut, dan presiden dari negaranya bernama Erdogan (setelah disini aku tahu kalau pengucapan Abi waktu itu salah. Harusnya, nama beliau disebut ‘Erdoan’ karena huruf G dengan tanduk; Ğ, itu seharusnya tidak dibaca. Lanjut..)

Ketika dipanggil untuk tes wawancara pun pengetahuanku tentang negara ini seperti rok-rok yang dipakai gadis-gadis di luar sana, minim. Yang ada di pikiranku waktu itu adalah semua orang bilang negeri ini bagus, indah, bahkan lebih indah dibanding Mesir. Apa yang harus aku khawatirkan?. Dan entah kenapa aku malas sekali browsing dan cari tahu lebih banyak saat itu.

Tapi meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan kalau aku memiliki ekspektasi pada waktu itu. Tidak banyak, tapi aku bisa menyebutkan beberapa.

  • Bahwa semua orang Turki mengerti dan bisa ber-Bahasa Inggris. Ekspektasi mainstream yang dimiliki oleh kebanyakan calon mahasiswa disini–yang tidak pernah diberitahu tentang ini sebelumnya. Waktu itu, aku berpikir kalau semua orang di Istanbul sudah pasti bisa ber-Bahasa Inggris, karena banyak sekali turis yang datang kesana, seperti Bali, semua orang Indonesia di Bali bisa ber-Bahasa Inggris, bukan? (Ya, kan?).Dan aku pun dikecewakan dengan realitanya yang ada. Apalagi waktu itu aku dan teman-temanku adalah pendatang baru yang hanya sekadar tahu merhaba, teşekkür ederim atau güle güle dan mengucapkannya dengan logat Indonesia yang kental. Walhasil, 3 bulan pertama, kami banyak menggunakan bahasa tubuh dan Google Translate.Lalu apakah tidak ada harapan bagi turis yang tidak tahu jalan atau bahkan tersesat disana?

    Sebagian orang Turki yang bekerja di kawasan kunjungan turis mampu mengerti dan merespon dengan baik. Bahkan, mereka yang tidak tahu bahwa kami adalah mahasiswa disini pun kadang menyapa wajah asing kami dengan Bahasa Inggris. Bahkan sepatah-dua patah kata dalam Bahasa Indonesia yang mereka pelajari otodidak, seperti ‘bagus’, ‘murah’, atau ‘sayang’.

    Dan tidak perlu khawatir karena petunjuk jalan disana banyak yang menyertakan Bahasa Inggris.

  • Bahwa yang dikatakan oleh para senior soal “akan banyak berjalan kaki” maksudnya adalah tidak sebanyak itu.
    Setelah menerima Kabul Mektubu atau Letter of Acceptance dan mulai mempersiapkan diri untuk hari keberangkatan, kami diberi pesan untuk memiliki minimal dua pasang sepatu, atau sepasang sepatu yang paling nyaman dan berkualitas bagus. Alasannya, karena tidak ada transportasi publik sejenis ojek atau becak, kami akan sering berjalan kaki di Turki nanti.Aku pikir, kata ‘jauh’ itu hanya menginterpretasikan jarak yang maksimalnya sekitar 100 meter. Tapi ternyata, jarak tersebut adalah termasuk ‘sangat dekat’. Bulan-bulan pertama benar-benar sulit. Jarak yang sebenarnya tidak jauh, kami lewati dengan keluhan dan lelah.Setelah melewati setengah tahun, kami sudah mulai biasa dengan ‘banyak berjalan’ dan ‘berjalan jauh’. Di tahun berikutnya, kami yang mengingatkan calon mahasiswa baru tentang hal ini.
  • Bahwa Turki adalah negara yang cantik.
    Realitanya? SANGAT cantik. Aku tidak sepandai penulis profesional seperti Dan Brown, atau Ilana Tan dan Tere Liye dalam hal menggambarkan satu suasana hingga dapat dibayangkan oleh pembaca.Mungkin belum. Tapi dua kata tadi sudah menjelaskan bukan? Kalian bisa mencari gambar atau video yang menampilkan kota-kota di Turki. Dari semua kota itu, Istanbul adalah yang paling aku kenal dan aku bisa katakan kalau yang kalian lihat di video atau gambar itu hanya memperlihatkan sedikit dari kecantikan yang ada. Melihatnya dengan mata kepala sendiri tentu akan berbeda.Aku ingat mengagumi Sultanahmet dan Hagia Sophia lewat gambar di internet. Dan ketika tiba pertama kali disana, aku menangis terharu, bergumam pada diri sendiri tentang aku yang benar-benar berada disana dan ini semua bukanlah mimpi.

    Walaupun begitu, tetap saja ada bagian-bagian dari ulah manusia yang membuat kecantikan itu sedikit memudar, berkurang. Seperti sampah di pinggir jalan, atau puntung rokok dimana-mana. Tapi memang tidak ada hal yang sempurna, bukan?

Inilah sebagian dari ekspektasi dan realita yang aku bisa ceritakan, beberapa lainnya bisa kalian baca di versi bahasa Inggrisnya disini. Ada banyak lagi hal di dunia yang seringkali mengecewakan. Yang lebih berbahaya bukan hal atau kejadian yang mengecewakan itu, tapi rasa kecewa yang dibiarkan menguasai.

Cara kita merespon sesuatu itu adalah lebih penting dibanding hal yang benar-benar ada di depan kita. Sebuah kekecewaan akan terasa manis kalau kita menyapanya dengan senyuman, sabar, dan percaya kalau ada hal lebih baik lagi yang akan menggantikan. Jika kita rasa kita mungkin tidak akan sanggup memaksa senyum dalam kekecewaan, maka jangan berandai-andai, jangan berharap, jangan berekspektasi yang terlalu tinggi, karena ketika jatuh, kita akan merasa lebih sakit.

P.S. Stay tune on my blog-site, cause I’ve been thinking about having a give away!. Brace yourselves!

 

Bernapas di Istanbul

Besok adalah ujian hari terakhir dan jadinya malam ini udah males belajar. Bosen pacaran sama buku (padahal belajar banget juga ngga). Jadi mutusin buat buka blog dan pengen posting sesuatu.

Tapi kemudian bingung. Pengen posting tapi ngga tahu mau posting apa. Jadilah akhirnya kepikiran untuk bagi-bagi cerita, curcol soal kehidupan disini dengan bahasa yang santai aja. Biar kerasanya kaya ngobrol sama temen deket sendiri, lah.

So, bicara soal hidup di Istanbul, hal pertama yang mungkin terbesit di pikiran kalian sekarang–berkaitan dengan berita-berita yang disebar luaskan media di seluruh dunia–adalah, “disana (ngerasa) aman ngga?”. Ngga sedikit yang udah tanya soal hal ini via Facebook, DM Instagram, email, atau AskFm. Mereka semua wondering soal apakah kami semua disini hidupnya, ngapai-ngapainnya ngerasa aman atau ngga. Aku pun sampai bosen bilang kalau sebenernya, sadar atau ngga, ngga ada tempat di dunia ini yang benar-benar aman. Di rumah sendiri sekalipun.

Istanbul, dan kota-kota lain di Turki memang belakangan jadi sorotan dunia karena sudah berkali-kali diserang ledakan bom bunuh diri. Malam tahun baru kemarin ada kejadian, hari ini pun, sore tadi banget, di Izmir baru kejadian. Tapi gini, memangnya kematian cuma disebabkan sama bom doang? Kematian adanya di Turki doang?

Pernah nonton film yang namanya Final Destination, ngga? Memang itu film cuma fiksi, sih. Tapi ngerti, kan, kalau kematian itu juga kaya rejeki? Datengnya seringkali dari jalan yang ngga diduga-duga. Orang yang tidur di atas ranjang sendiri, ngga ditikam, ngga diapa pun paginya bisa ngga bangun lagi, kok.

“Tapi kan di Turki udah jelas banyak bom segala macemnya”

Emangnya kalau udah kejadian di Turki, ngga akan kejadian juga di tempat lain, kah?
Takut tuh pasti ada. Manusiawi. Aku pribadi pun kalau lagi keluar mau kemana gitu seringkali mikir, gimana kalau nanti ketika aku sampe disitu tiba-tiba ada yang nembak? gimana kalau ternyata ada yang diem-diem bawa peledak ke dalem sini?. Takut, cuy. Tapi emangnya harus diem aja di asrama/rumah? Ngga kuliah, ngga maen, ngga apa? Kan sayang waktunya.

Makanya setelah shalat kan kita dianjurkan untuk berdoa minta meninggal dalam keadaan khusnul khatimah, meninggal dalam keadaan yang baik, dalam keadaan sedang dalam cinta yang sedalam-dalamnya kepada Allah, dalam keadaan sedang taqwa dengan sebaik-baiknya, biar kelak di akhirat jadi salah satu dari hamba-hamba yang beruntung. Karena itu juga, dimanapun tinggalnya kita, ketika memutuskan untuk keluar rumah, kita baca doa–minimal basmalah–dan sepanjang jalan terus ngingetin diri buat dzikir dan istighfar. (Kan, jadi panjang)

Kami yang disini bisa dibilang udah biasa, sih, dengan berita-berita itu. Weekend tetep main sama temen, ada acara PPI atau lainnya diusahain buat hadir, pas ada kelas tetap dateng walau sejauh apapun jaraknya.

Hayat devam ediyor. Mau gimanapun hidup tetap berjalan lah. Tempat-tempat tetep rame, jalanan tetep macet, kendaraan umum tetep penuh, orang-orang tetep keluar rumah. Aku pun sebagai seseorang yang bakal ninggalin Istanbul sekitar 2.5 tahun lagi (aamiin, insyaAllah) mana mau lama-lama di asrama aja, ngga kemana-mana ketika badan sehat dan waktu lagi kosong.

kalabalik
Sumber: Google

Istanbul itu punya semuanya. Mulai dari tempat-tempat makan enak dan kece, tempat belanja, taman-taman tempat relaksasi, tempat-tempat dan bangunan-bangunan megah saksi sejarah, masjid-masjid cantik, laut, pantai, sampai ke dunia cokelat, theme park dan Jurassic Land aja ada. Sampe sekarang pun, setelah udah kenal Istanbul selama sekitar 2 tahun 3 bulan, ada aja beberapa tempat yang aku belum kunjungi sama sekali. Misalnya, Büyük Valide Han di Eminönü yang aku ngga tahu cara kesananya gimana -_-.

575aaef218c7735910d400a1
Büyük Valide Han. Sumber: hurriyet

Tempat-tempat yang udah dikunjungin pun ngga ngebosenin. Makanya jalan-jalan di Istanbul tu ngga ada habisnya. Kalau kamu mau keliling seluruh Istanbul, seminggu aja ngga cukup. Kecuali nantinya bakal balik lagi kesini. Nih, aku kasih tahu beberapa tempat yang kudu, harus, mesti, wajib kamu kunjungi kalau lagi jalan atau mungkin sekedar mampir kemari. (Ntar kalo masih kurang bakal dilanjutin kapan-kapan)

  • Sultanahmet-Hagia Sophia (Aya Sofya)
sultanahmet_1
(Sumber: grandyavuzhotel.com via Google)
aya_sofya_resimleri
Sumber: istanbuldagez.com via Google

Udahlah, semua juga tahu soal dua ini, kan? Yoi. Kalau kamu ke Istanbul tanpa berkunjung ke dua tempat ini, kamu kaya makan tapi ngga makan. Ngerti ngga? Ke Istanbul, tapi seolah ngga. Karena ngga berkunjung, tadabbur, dan foto-foto di sini.

Tentang Sultanahmet (Blue Mosque) dan Aya Sofya singkatnya sudah pernah aku tulis di postingan The Amazing Two.

  • Gülhane Park
gulhane-park
Sumber: traveldk.com via Google

Letak Gulhane Park ini deket banget sama Sultanahmet. Bisa jalan sekitar 10-15 menit. Waktu paling bagus buat berkunjung ke taman ini adalah di musim semi terutama di bulan April, karena di tamannya ada bunga tulip bermacam rupa di setiap sudutnya.

gulhane-parki-2
Festival Tulip. Sumber: gezipgordum.com via Google
  • Eminönü
maxresdefault
Sumber: Google

Di Eminonu, kita bisa lihat pemandangan Golden Horn dan lihat Bosphorus dari kejauhan sambil makan balık ekmek atau fish sandwich dan minum ayran, shalat di Yeni Camii, pergi belanja ke Spice Bazaar, dan dari Eminonu, kita bisa naik feri untuk nyebrang ke Istanbul Asia atau ikut Bosphorus Tour. Lengkapnya juga nanti insyaAllah bakal dijelasin di postingan yang akan datang!

Dan ada banyak tempat-tempat lain yang lebih cantik dan bikin baper walaupun kamu lagi sendiri, eheh :-P. Yaa, walaupun kotanya rame banget, transportasi umumnya selalu penuh dan sering sampe himpit-himpitan, semua mahal (dibandingin langsung sama Indonesia), beberapa tempat baunya semriwing, dari satu tempat ke tempat lain kadang jauhnya masyaAllah dan butuh berkali-kali transit, orang-orangnya suka rese, cantiknya Istanbul ngga kurang-kurang.

Ya, walaupun Istanbul juga ngga sempurna banget, sih. Sudut-sudut kotornya ngga sedikit dan puntung rokok ada dimana-mana. Tapi, guys, Istanbul itu worth pantat tepos dan punggung pegel kamu selama di pesawat. Kalau kamu ngapus Istanbul dari bucket list kamu karena berita-berita yang ada sekarang, your life is a waste, ciah. Kalau ditunda sih ngga apa-apa. Sekalian aja pas pulang atau berangkat umrah, mampir juga kemari.

Yuk, main ke Istanbul!
Ada banyak pengalaman dan kecantikan yang siap memanjakan mata dan hati kamu disini!. Yuk! siapa tahu ketemu jodoh 😛

2017 is loading..

Siapa sangka ternyata kita sudah berada dipenghujung 2016 sekarang? Tersisa 20 hari lagi sebelum semua orang di seluruh dunia meneriakkan ‘selamat tahun baru!’ dengan bahasa masing-masing pada pukul 00.00 tanggal 31 Desember dengan diiringi tiupan terompet dan kembang api yang meramaikan langit.

Bicara soal tahun baru selalu identik dengan resolusi tahun baru, bukan?. Apa itu resolusi tahun baru?

Resolusi tahun baru menurut Wikipedia adalah tradisi sekuler yang umumnya berlaku di Dunia Barat, tetapi juga bisa ditemukan di seluruh dunia. Menurut tradisi ini, seseorang akan berjanji untuk melakukan tindakan perbaikan diri yang akan dimulai pada hari tahun baru. (I literally copied and pasted the sentences but anyway, you guys can check the details here)

Menurut tradisi ini, seseorang akan berjanji untuk melakukan tindakan perbaikan diri yang akan dimulai pada hari tahun baru

Tindakan perbaikan diri ini mulai dilakukan pada hari tahun baru atau hari pertama di tahun baru karena orang-orang merasa tahun baru adalah waktu yang tepat untuk mengulang sesuatu dari awal dimulai pada hari pertama dari 365 hari yang ada.

Kelihatannya tidak sulit, bukan? Kita hanya perlu menentukan beberapa hal yang ingin kita jadikan goal di tahun yang akan datang. Tapi, hal tersulit dari membuat sebuah janji adalah mewujudkannya, to make it real. Not just a list of some stuffs hanging on our room wall that become dusty is the end of the year. 

Kita selalu membahas, membicarakan resolusi tahun baru untuk kemudian menyadari bahwa tidak semua poin dapat terealisasi karena terlupakan. Karena semangat untuk resolusi ini hanya ada di bulan terakhir tahun dan bulan pertama tahun berikutnya. We can’t deny. It’s the (sad) fact.

Ada berbagai macam poin yang kita tulis dalam daftar resolusi tahun baru setiap tahunnya. Sebagian mungkin adalah hal baru, namun sebagian lainnya kemungkinan besar merupakan harapan dari resolusi tahun sebelumnya. Resolusi tahun baru yang kita baru sadar keberadaannya–pernah kita rencanakan di akhir tahun sebelumnya–ketika kita sudah memasuki akhir tahun dan bersiap menyambut tahun berikutnya. We can’t deny. It’s the (sad) fact (2).

images
Sumber: Google

Jadi sebenarnya, untuk apa kita punya sesuatu yang kita lakukan tiap tahun tapi hanya diingat di awal dan di akhir tahun saja? I mean it supposed to be something that sticks to our mind all the time along the year, right? Karena ‘tradisi’ yang satu ini menyangkut hal yang kita ingin lakukan untuk memperbaiki kualitas diri kita.

 

Just like the applications you have on your phone, your goals, your bucket list, should be updated constantly –Yasser Rashed (International Trainer)

Banyak hal yang bisa mempengaruhi cara kita memandang sesuatu, mempengaruhi kemauan kita akan sesuatu. Orang-orang yang kita temui, karakter dari film yang kita tonton, musik yang kita dengarkan, dan lain sebagainya. Karena itu lah kita memang harus meng-update harapan dan tujuan kita.

Resolusi tahun baru adalah sesuatu yang ingin kita lakukan, sebuah janji kepada diri sendiri yang akan mulai kita lakukan di hari pertama tahun baru dan berlaku hingga sepanjang tahun.  Misalnya, salah satu harapan kamu adalah lancar berbahasa Inggris. It’s a good one. Kamu sudah mencari tahu berbagai hal mengenai cara untuk tetap stick with it sampai ia terwujudkan sebelum akhir tahun. Kamu tetap fokus dengan goal  kamu dan mendapatkan kemajuan hari demi hari karena kerja kerasmu.

Tapi di pertengahan tahun, kamu menemukan sebuah Youtube channel dari seseorang yang melanjutkan studi di Jepang. Kamu tonton beberapa videonya dan kemudian mulai tertarik dengan Jepang, bahasanya, budayanya, dsb.. Sampai akhirnya kamu tertarik untuk mengejar beasiswa ke Jepang. Dan, kamu mulai belajar bahasa Jepang, mempersiapkan diri untuk mengikuti tes seleksi beasiswanya. See? Goal-mu dengan mudahnya dapat berubah. Pada akhir tahun, kamu kemudian menyadari bahwa resolusi tahun barumu tidak terwujudkan.

Poin penting yang coba aku sampaikan adalah:

Pertama, jika kamu ingin memiliki resolusi tahun baru, kamu bisa memilih hal-hal yang berkaitan ke bagaimana merubah pribadi kamu menjadi lebih baik lagi. Misalnya, tidak bersikap kekanakan, berhenti membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan, menjadi orang yang lebih rapi dan bersih, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, menjadi lebih disiplin, dan lain sebagainya.

Pilihlah hal-hal yang kamu yakin bisa kamu lakukan dan selalu kamu ingat. Dan cobalah berbagai acara untuk membuatnya tetap berada di kepalamu. Sehingga di akhir tahun, resolusi tahun baru-mu benar-benar memiliki hasil. Ada artikel yang bagus mengenai hal ini (English) yang bisa kamu lihat di sini.

Kedua, sebenarnya, jika kita ingin memulai sesuatu hal yang baik, kita tidak perlu menunggu awal tahun baru untuk memulainya. Kita tahu bahwa menunda melakukan sesuatu adalah hal yang tidak baik, bukan? Menundanya hingga ke hari berikutnya sekalipun. Karena jika kita berencana untuk melakukannya besok, nanti malam, minggu depan atau nanti-nanti lainnya, itu berarti kita membiarkan diri kita bermalas-malasan di masa sekarang. ‘Sekarang’ adalah waktu yang paling tepat untuk memulai sesuatu, untuk memulai kebiasan baru. (Time of Your Life, Rando Kim)

Ketiga, inti dari resolusi tahun baru adalah membawa perubahan baik kedalam diri kita, bukan? jadi kita bisa menulis daftar harapan dan tujuan (goal) kita tidak hanya untuk resolusi tahun baru. Kita bisa menulisnya di rencana hidup kita selanjutnya dalam jangka pendek dan panjang, seperti must to do,  life maping, atau goals of the rest of my life (I made this term).

20120820-225540
(Sumber: Google)

Dalam sebuah website bernama Not Enough Cinnamon, seseorang bernama Marie dalam artikelnya yang berjudul Why New Year’s Resolution Do Not Work – And What You Should Do Instead menulis:

Millions of people decide to change their lives for the better, often by losing weight or eating healthier. It’s a first step towards a healthier lifestyle, and it’s great. But New Year’s resolutions are not the best way to succeed. In fact, I would even say they are the best way to fail. Why? Because 90% of these resolutions are not realistic, overwhelming and at the end, just plain discouraging”

Terjemah: jutaan manusia memutuskan untuk merubah hidup mereka menjadi lebih baik, seringkali dengan menurunkan berat badan atau mengkonsumsi makanan yang lebih sehat. Ini adalah langkah pertama menuju pola hidup yang lebih sehat, dan itu bagus. Tapi resolusi tahun baru bukanlah cara terbaik untuk berhasil. Kenyataannya, menurutku (writer) hal ini adalah cara terbaik untuk gagal. Kenapa? Karena 90% dari resolusi-resolusi ini tidak realistis, berlebihan, dan pada akhirnya hanyalah mengecilkan/merendahkan diri sendiri.

(You guys can read the full article just by clicking the link above, it’s really a nice article)

Marie memiliki pendapat yang sama denganku, bahwa kita tidak butuh resolusi tahun baru untuk mendapatkan hasil dalam perbaikan/pengembangan diri kita. Daripada menulis daftar panjang berisi resolusi tahun baru yang harus kamu wujudkan selama satu tahun yang akan datang, menulis goals seminggu sekali, misalnya, adalah lebih baik.

“Break down your big goals into small goals. The rule is: baby step.”

Mulailah dari hal yang kecil, dan seperti yang sebelumnya aku katakan, update tujuan dan harapan itu secara berkala. Sehingga, di akhir tahun ketika kita melihat ke belakang, memikirkan tentang apa saja yang sudah terjadi dan perubahan baik apa yang telah kita hasilkan kepada diri kita selama setahun yang sudah berlalu, diri kita akan merasa puas. Terlebih ketika kita melihat daftar-daftar yang dicentang penuh, mission accomplished.

Akhir kata, keputusan tetap berada di tanganmu. Dengan cara atau metode apa yang ingin kamu gunakan untuk membuat daftar harapan dan tujuan hidup kamu. Yang terpenting adalah bagaimana kamu, kita, meyakinkan diri dan terus meng-upgrade semangat sehingga yang kita inginkan dapat terwujudkan; menjadi manusia yang lebih baik.

Selamat menikmati hari-hari terakhir 2016! Semangat berubah!

Asma Hanifah Ahmad
09.45 AM (GMT+3)

Ujian pada Ujian

Halo, semua!

Mungkin di antara kalian masih ada yang sedang berjuang dalam ujian, ya. Berusaha mempertahankan atau mendapatkan nilai yang jauh lebih baik dari semester sebelumnya. Tetap semangat!. Jangan sampai godaan-godaan dari luar menurunkan semangat belajarmu!

Aku? Aku sudah menyelesaikan ujian sejak beberapa hari lalu. Hanya berlangsung selama 5 hari untuk 7 mata kuliah. Hal baiknya aku tidak perlu berlama-lama merasakan tekanan ujian, tapi berita buruknya adalah selama 5 hari itu aku harus terus berkutat dengan buku tanpa henti karena harus belajar untuk ujian keesokan harinya. Yep, melelahkan.

Semester ini, aku merasa lebih siap menghadapi ujian karena memang sudah sejak 1,5 bulan sebelumnya sudah mulai ‘pacaran’ dengan buku. Ya, aku tahu diri. Bahasa Turki bukan bahasa ibu-ku dan karena itu aku harus membaca sambil menerjemahkan, mencari  artikel terkait di internet agar lebih paham, dan membaca lagi dari awal. Kadang aku berpikir andai semua mata kuliah berbahasa Inggris, kurasa aku tidak akan merasa se-pusing dan se-lelah ini dalam belajar. Karena setidaknya memahami Bahasa Inggris yang sudah mulai aku pelajari sejak kelas V jauh lebih mudah dibanding Bahasa Turki yang.. entahlah. Bahasa ini terlalu unik.

Pada hari pertama dan kedua ujian, aku masih merasakan semangat belajarku. Aku masih merasakan hal-hal positif memenuhi kepalaku. Bahwa aku akan bisa lebih berhasil pada semester ini. Bahwa nilai-nilaiku akan jadi lebih baik. Setidaknya sedikit lebih baik. Sampai hari ke-empat, aku masih bersemangat dan menyemangati teman-teman asingku yang sudah kehilangan ‘nafsu’ belajar sejak awal,

I know my fate, Hani”
“No!, you can’t say it is your fate ’till you already tried something”

Aku berusaha memberi mereka semangat dengan caraku menyemangati diriku sendiri. Aku ingat sekali ketika masih kelas 12 waktu itu, aku dan teman-teman mengikuti Try Out SIMAK UI yang semua orang tahu betapa sulitnya. Sebelum hari H, kesehatanku sedang menurun, aku memang sering sakit akhir-akhir kelas 12 karena kelelahan. Tapi karena aku tidak ingin jadi satu-satunya orang yang melewatkan Try Out itu, aku mendaftarkan diri dan mulai belajar sebisaku.

Aku beri tahu satu hal menyedihkan dari situasiku waktu itu. Aku belum memiliki buku persiapan UN milikku sendiri karena Abi belum bisa membelikan. Ya, kurasa aku sudah pernah cerita kalau kondisi ekonomi keluargaku sedang buruk sekali masa itu. Jadi aku meminjam dari temanku yang punya tiga buku persiapan UN. Aku belajar, mencatat hal-hal penting di buku tulis, sampai satu hari sebelum hari H. Di hari ketika Try Out dimulai..

Aku terkejut. Kami terkejut karena tidak ada satu soal pun yang kami pernah lihat sebelumnya. Walau soal Bahasa Indonesia sekalipun. Bahasa Inggris? Hampir semua kosakatanya baru aku temui hari itu. Matematika? Jangan tanya. Aku menggunakan metode membaca Bismillah, Al-Fatihah, atau hapalanku yang lain sambil menunjuk pilihan jawaban yang ada sambil melihat akan berhenti dimana ketika aku habis membaca. Benar-benar yakin kalau jawabanku benar hanya karena sebuah keajaiban atau keberuntungan yang Allah pihakkan kepadaku.

Tapi sungguh benar yang mereka katakan, hasil yang akan kamu dapatkan dilihat dari seberapa besar upayamu mendapatkannya. Energi keluar=energi masuk. Hari itu, ketika nama-nama dengan nilai tertinggi dibacakan, aku tidak percaya kalau nilaiku adalah yang paling tinggi untuk jurusan IPS. Bersama dengan 2 teman sekelasku di urutan kedua dan ketiga. Ingat aku pernah bercerita soal hari-hari yang terasa magical buatku? Hari itu salah satunya. Hari ketika aku merasakan langsung manjurnya man jadda wajada.

Aku tidak pernah lupa detail hari itu sampai sekarang. Membuatku tersadar kalau Allah akan memberikan hasil yang sesuai dengan usaha kita. Jika kita berusaha keras, tidak berhenti berdoa dan menyerahkan semua kepadaNya dengan hati lapang, maka insya Allah kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Bahkan bisa jadi lebih.

Satu hari sebelum ujian hari ke-lima, aku kembali menekuni materi yang sudah aku baca sebelumnya. Sesekali membuka kamus. Di hari terakhir, akan ada 2 mata kuliah; İnkilap Tarihi (sejarah Turki dan perkembangannya) dan Türk Dili (Bahasa Turki). Keduanya bukan mata kuliah pokok, tapi tetap saja nilainya akan mempengaruhi IPK. Aku terus memaksakan diri untuk fokus ke isi materi. Tapi sampai pada pukul 9 malam, aku merasa lelah sekali.

Kepalaku berat, dadaku sesak. Aku cemas, takut. Takut kalau aku tidak akan bisa mendapatkan nilai yang cukup untuk İnkilap Tarihi. Ada sekitar 270 halaman A4 yang harus aku baca dan selesaikan malam itu juga. Walaupun sudah pernah aku baca sebelumnya, aku tetap harus mengulangi lagi untuk kembali mengingat detail-detail yang ada. Aku tetap tidak bisa mengembalikan semangat walau sudah berkali bilang “Asma bisa! Asma bisa!” kepada diriku sendiri. Tidak. Sudah lelah sekali.

Rasanya ingin langsung tertidur, bangun esok hari dan langsung melakukan ujian dengan pasrah. Tapi aku juga tidak bisa memaksakan diri untuk itu. Aku galau. Sampai  akhirnya aku menghabiskan waktu hampir satu jam untuk curhat ke beberapa teman. Mencari ‘dorongan’.

“Tugas kita cuma berusaha semampu kita. Soal hasil nanti biar Allah yang urus. Cuci muka, dzikir, kalau bisa shalat biar hatinya lebih tenang” kata mereka yang ucapannya hampir sama.

Padahal aku sudah tahu ‘kunci’ itu. Untuk menyerahkan saja segalanya kepada Yang Maha Kuasa setelah berusaha dan berdoa semaksimalnya. Tapi entah kenapa diriku lupa dan merasa ciyut sekali malam itu. Setelah diberi wejangan, aku kembali menyadarkan diri untuk tidak terlalu mencemaskan hasil. Yang terpenting adalah proses, bukan hasil. “Jangan sampai kekhawatiran Ayuk mengurangi nilai prosesnya,” kata Abi.

Kita sering kali merasakan ujian kita bertambah dengan ujian di sekolah atau di kampus. Dorongan untuk membanggakan orang tua, membuktikan bahwa kita lebih mampu, dan lain sebagainya membuat kita terlalu concern terhadap nilai. Padahal nilai tidak langsung menunjukkan kejeniusan seseorang.

Kita memang tidak diharuskan untuk terlalu memusingkan soal hasil karena itu hanya akan semakin memberatkan. Kita menuntut ilmu karena itu adalah sebuah bentuk keimanan kita kepadaNya. Karena kita sadar dan tahu bahwa kita memerlukan bekal yang cukup untuk bisa ikut berjuang membawa perubahan baik. Yang perlu kita selalu ingat dan tanyakan kepada diri sendiri adalah sudah seberapa keras usaha yang kita lakukan? karena Allah membalas sesuai dengan kerja keras yang diberikan.

Sudah bekerja mati-matian tapi hasil ‘fisik’nya–seperti nilai–malah jauh dari ekspektasi? Maka ketahuilah bahwa nilai tersembunyi yang Allah ingin kita sadari adalah lebih penting. Kita sudah tahu bahwa Dia adalah Perencana dan Penentu termaha, jadi kita hanya tinggal butuh benar-benar mempercayainya.

Kita hidup di society yang memang seringkali mementingkan hasil ‘fisik’ dari sebuah kerja keras. Itulah yang membuat kita merasa takut akan terendahkan. Tapi tenang, mereka yang berpikiran sempit, memandangmu sebelah mata, menilaimu hanya dari hasil yang mampu mereka lihat saja tanpa tahu dan mengerti usahamu sebelumnya bukanlah orang-orang yang seharusnya kamu pedulikan. Bukanlah orang-orang yang kata-katanya pantas membuat kamu merasa gagal. Jadikan itu sebagai dorongan untuk menjadi lebih baik dan membuktikan bahwa kamu tidak seperti yang mereka pikirkan.

Jadi untuk kamu, para pejuang dimana pun berada, tetap semangat dan jangan sampai kehilangan kepercayaan dirimu hanya karena bisikan-bisikan kecil dari belakang. Lakukan apa yang kamu bisa lakukan dan berdoalah agar Allah berikan hasil terbaik yang membuatmu kembali belajar hal baru tentang pelajaran kehidupan.

Tidak ada orang sukses yang tidak pernah berkali-kali jatuh sebelumnya, bukan? Terjatuh membuat kita belajar caranya bangkit. Dalam sebuah kutipan–yang aku lupa oleh siapa–dikatakan, “ketika kamu terjatuh begitu dalam, merasa beruntunglah karena tidak ada jalan lain bagimu selain ke atas”

Dan aku ingatkan kamu sekali lagi soal kabar baik ini: Allah selalu tahu mana yang terbaik untuk hambaNya. Maka hasil apapun yang kita terima, walau seburuk apapun, ketahuilah bahwa akan ada hari ketika kita bersyukur untuk itu.

Tetap semangat!

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑